Ketentuan syar'i ada dua, yaitu yang diketahui secara umum oleh seluruh umat, dan yang hanya diketahui oleh para ulama saja. Ketentuan yang diketahui secara umum seperti salat itu wajib, puasa bulan Ramadan itu wajib, seorang mukmin harus percaya kepada Allah, dsb. Adapun kategori kedua seperti terjadinya selisih pendapat antara para ulama pada detail-detail hukum syar'i tertentu.
Yang menjadi permasalahan adalah parameter apa yang dipakai untuk menentukan batas toleransi ketidaktahuan ketentuan syar'i yang sudah dianggap diketahui secara umum. Karena, hal tersebut bersifat multi interpretasi dan tidak gamblang, tergantung kepada kapabilitas keilmuan setiap individu. Demikian juga perlu menentukan parameter persamaan beberapa masalah yang hukum syar'i-nya sudah pasti diketahui secara umum dari yang masih tersembunyi.
Batasan dan Balasan
Ketentuan agama yang sudah diketahui secara umum itu berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan setiap permasalahan, individu, masa, dan tempatnya. Sehingga, hukuman bagi orang yang menentangnya atau tidak mengetahuinya pun berbeda.
Bagi sejumlah orang, pemasalahan yang sudah jelas dan didasarkan pada periwayatan mutawatir dianggap sebagai ketentuan agama umum. Hal ini diistilahkan As-Syafii rhm. sebagai "ilmu umum". Contohnya, salat wajib yang lima, kewajiban berpuasa pada bulan Ramadan, menunaikan ibadah haji bagi mereka yang mampu, mengeluarkan zakat, haramnya perbuatan zina, membunuh, mencuri, dan minuman keras.
Semua ini termasuk ilmu pengetahuan yang ada nasnya dalam Alquran, dan secara umum sudah diketahui oleh kaum muslimin, baik alim maupun awam. Orang-orang awam mengetahui hal tersebut dari pendahulunya secara turun temurun. Mereka sama sekali tidak menyelisihkannya, baik dari segi periwayatan hukum itu kepada Rasulullah saw. maupun dari segi pembebanannya (ta'lif) kepada mereka. Yang demikian sudah dianggap umum, sehingga tidak mungkin terjadi kesalahan dalam periwayatan dan interpretasinya. (Ar-Risalah, hlm. 357--359).
Syekh Islam Ibnu Taimiyah rhm., berkenaan dengan suatu periwayatan yang menjelaskan konsensus ('ijma) para sahabat untuk membunuh orang yang menghalalkan khamr (minuman keras), berpendapat, "Inilah yang disepakati oleh para sahabat, yang disepakati pula oleh para imam agama Islam, dan tidak terjadi perselisihan pendapat tentang ketentuan itu. Orang yang mengingkari kewajiban salat, puasa Ramadan, ibadah haji, atau menolak diharamkannya beberapa hal yang sudah sangat jelas keharamannya--berdasarkan riwayat mutawatir seperti kezaliman, khamr, mencuri, berzina, dan lain-lain, atau menentang dihalalkannya hal yang sudah terang kehalalannya, seperti roti, daging, dan nikah-- orang tersebut dihukumi kafir karena murtad dari Islam dan harus bertaubat. Jika tidak mau bertaubat, wajib dibunuh." (Majmu Fatawa, juz 11, hlm. 405).
Imam An-Nawawi rhm. Berkata, "Jika seseorang menolak sesuatu dari Islam yang sudah diketahui secara umum, ia dihukumi sebagai orang murtad dan kafir, demikian halnya dengan orang menghalalkan zina, minuman keras, pembunuhan, dan semacamnya, yang keharamannya sudah diketahui secara pasti." (Syarh Muslim, juz 1, hlm. 100).
Para ulama sependapat dengan mereka berdua, yang menghukumi kafir bagi orang yang menentang ketentuan agama yang sudah diketahui secara umum atau pasti.
Imam Al-Khitabi rhm. Berkata, "Demikian juga, dihukumi kafir dan tidak ada toleransi, bagi setiap orang yang mengingkari hal yang telah disepakati oleh para imam dalam masalah-masalah agama yang sudah menjadi pengetahuan umum, seperti wajibnya salat yang lima waktu, puasa di bulan Ramadan, mandi junub, dan haramnya zina, minuman keras, mengawini wanita yang masih mahram, dan lain-lain yang berkenaan dengan masalah penetapan hukum."
Sumber: Al-Jahl bi Masailil I'tiqad wa Hukmuhu, Abdur Razzaq bin Thahir bin Ahmad Ma'asy