Halaman

28.1.11

MANUSIA… OH…. MANUSIA…

"Dan kau seorang muda yang penuh filsafat, yang mabuk akan ujar-ujar kuno, yang hidup menurunkan garis-garis dalam kitab, yang buta akan kenyataan bahwa betapapun mengecewa kannya, manusia yang belum mau melepaskan diri daripada kehidupan ramai, berarti belum mungkin terlepas daripada nafsu-nafsu duniawi!

“Berbahagialah si bijaksana yang TIDAK MEMILIKI APA-APA, karena dia akan bebas daripada suka maupun duka!”

Segala peristiwa merupakan mata rantai yang tak dapat dipisah-pisahkan, karena saling menyambung, saling mengikat dan saling menjadi sebab. Segala macam perasaan suka-duka, gembira, marah, puas, kecewa dan lain-lain hanyalah permainan daripada rasa sayang diri dan iba diri. Yang mau bersuka tentu akan bertemu dengan duka. Ingatlah, bahwa senang bergandeng tangan dengan susah. Hanya dia yang MEMILIKI saja yang akan KEHILANGAN! Memiliki itu bersifat senang, akan tetapi memiliki membawa datang kewajiban paksa yaitu MENJAGA karena di depannya terbentang mengerikan jurang KEHILANGAN. Karena ada dan tiada itu saling mengait, yang ada tentu akan tiada, sebaliknya yang tiada tentu akan ada, maka yang memiliki tentu akan kehilang an! Dan dia yang merasa suka di waktu memiliki, sudah tentu saja akan menderita

Orang yang tidak mempunyai apa-apa takkan khawatir kehilangan. Si pembesar khawatir kehilangan kedudukannya, si hartawan khawatir kehilangan hartanya, si terkenal khawatir kehilangan kesohorannya, dan kalau sampai kemudian terjadi kehilangan, itu akan menimbulkan duka.


MUTIARA HIDUP

“Anugerah paling suci yang diberikan kepada manusia, yaitu akal budi, yang dapat membuat manusia mengungkap segala rahasia alam, yang membuat manusia merupakan mahluk yang terpandai, ternyata oleh manusia sendiri disalah gunakan. Anugerah ini malah dipergunakan untuk menentang Sang Pemberi. Makin pandai manusia, makin gila dia. Makin pandai manusia, makin kacau dunia. Semua ini adalah akibat daripada jalan pikiran yang salah. Wewenang dipakai mencari menang. Kekuasaan menjadi alat penindas. Kepandaian diper gunakan sebagai alat pemuas nafsu.

Kejadian yang sudah SEMESTINYA terjadi, akan terjadilah. Tiada kekuasaan lain di dunia ini mampu mengubahnya. Setiap kejadian di dunia ini sudah sewajarnya, tidak mempunyai silat menyenangkan atau menyusahkan, wajar dan sudah semestinya. Kalau toh mengakibatkan senang dan susah, bukan kejadian itu yang mengakibatkan, melainkan si orang itu sendiri yang menghadapi kejadian. Kalau dibuat susah, akan susahlah ia, kalau dibuat senang, akan senanglah ia.

"ADA muncul dari TIADA, betapa mungkin mencari sumber TIADA? Mengapa cari ujung sebuah mangkok? Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola? Akhirnya semua itu kosong hampa, sesungguhnya tidak ada apa-apa!"

"Segala sesuatu yang menimpa diri pribadi adalah akibat daripada pikiran sendiri. Pikiran kotor yang mendorong ucapan dan perbuatan selalu dlikuti sakit dan penderitaan seperti roda kereta mengikuti jejak sapi penariknya. Pikiran bersih yang mendorong ucapan dan perbuatan selalu diikuti kepuasan dan kebahagiaan seperti bayangan yang tak pernah berpisah dari padanya."

"Dia menyiksaku, dia memukulku dia mengalahkan aku, dia merampokku! Pikiran seperti ini menimbulkan benci tiada habisnya. Memang pikiran ini berarti melenyapkan kebencian, karena benci takkan hapus oleh benci pula, melainkan musnah oleh kasih!"

BALAS DENDAM adalah buah daripada BENCI yang menjadi senjata setan untuk menyeret manusia ke lembah kesesatan. Sebaliknya RELA MAAF adalah buah daripada CINTA KASIH yang akan menjadi obor bagi manusia menuju jalan kebajikan."

Berbahagialah manusia yang masih mempunyai tugas-tugas dalam hidupnya, karena tidak ada yang lebih mulia dalam hidup ini selain me nunaikan tugas tugas hidup, memper gunakan tenaga dan pikirannya yang amat dibutuhkan orang lain."

MUTIARA HIDUP

Manusia adalah mahluk yang lemah dan karenanya mudah lupa akan kemanusiaan. Tidak ada manusia baik atau jahat di dunia ini, semua sama saja karenanya dengan dasar pikiran ini orang budiman mengasihi semua manusia tanpa pandang perbedaan. Yang suka disebut orang jahat adalah orang yang sedang lupa, dilupakan oleh nafsu ingin senang sendiri, ingin menang sendiri, ingin enak sendiri, tanpa mempedulikan keadaan orang lain, maka perbuatannya yang ditunggangi nafsu-nafsu demikian itu merugikan orang lain. Orang yang dirugikan tentu akan menganggapnya jahat. Sebaliknya, orang yang sedang sadar, bebas nafsu, tentu akan timbul prikemanusiaannya dan melakukan perbuatan yang menguntungkan atau menyenangkan orang lain. Orang yang diuntungkan atau disenangkan demikian itu tentu akan menganggapnya baik. Jadi pada umumnya, manusia menilai BAIK atau JAHAT itu didasarkan pada akibat MENGUNTUNGKAN atau MERUGIKAN dirinya yang sebetulnya juga menjadi rangkaian daripada nafsunya sendiri."



MUTIARA HIDUP

Seperti sudah menjadi sifat orang-orang kaya maupun pembesar-pembesar yang berkuasa, tentu saja ada kecualinya yaitu mereka yang tidak mabuk akan harta dan kedudukan, mereka adalah orang-orang malas yang enggan bekerja berat namun ingin mendapatkan hasil yang sebanyak mungkin. Mereka bangun siang, tidur malam-malam karena tiada hentinya mengejar kesenangan, malas dan ingin menang sendiri, ingin berkuasa saja dan enggan dikalahkan.

Syarat memimpin negara dan dunia
adalah sembilan kebenaran
memperbaiki diri sendiri
menghargai orang bijak dan pandai
mencinta sanak keluarga
menghormat pembesar tinggi


MUTIARA HIDUP

Apakah artinya cinta?. Cinta yang paling murni di antara manusia adalah cinta yang tidak dikotori oleh nafsu menyenangkan diri sendiri, yakni cinta yang tulus ikhlas dan rela, yang berlandaskan pengorbanan demi untuk kesenangan dan kebaikan dia yang dicinta. Contohnya kasih sayang seorang ibu terhadap anak kandungnya ikhlas dan rela, satu-satunya idaman hati seorang ibu hanyalah melihat anaknya senang, rela berkorban, rela bersusah payah, tanpa mengharapkan upah karena melihat anak itu senang merupakan upah yang paling berharga. Sebaliknya cinta kasih yang berlandaskan nafsu, selalu menghendaki agar orang yang dicinta itu hidup berbahagia BERSAMA DIA SENDIRI. Menghendaki agar orang yang dicinta itu menjadi miliknya yang mutlak, selama hidup berada di sampingnya untuk dipuja, untuk dicinta, untuk pelepas dahaga, cinta ini penuh dengan harapan, penuh dengan pamrih dan karenanya penuh dengan racun yang dapat duka nestapa dan sengsara mendatangi.

MUTIARA HIDUP

Orang-orang yang berlepotan lumpur kotor akan tetapi menyadari akan kekotorannya lalu mandi dan tidak bermain lumpur lagi, bukankah hal itu amat menyenangkan? Orang-orang yang bermain lumpur akan tetapi tidak sadar akan kekotorannya akan tetapi tidak mau member sihkan diri dan menginsyafi kekeliruannya, bukankah hal itu amat bodoh dan patut disesalkan?”

Tidak ada pengorbanan apa-apa. Yang keras kalah oleh yang lunak, itu sudah sewajarnya. Yang lenyap diganti oleh yang muncul, yang mati diganti oleh yang lahir. Apa bedanya? Paling penting, mengenal diri sendiri termasuk kelemah­an-kelemahan dan kebodohan-kebo dohannya, sadar insyaf dan kembali ke jalan benar. Yang lain-lain tidaklah penting lagi.

“Dahulu sampai sekarang, generasi telah ber ganti namun watak manusia masih sama saja. Hidup manusia sudah tidak sewajarnya lagi. Hati dan pikiran manusia diselubungi hawa keduniaan sehingga orang mempercaya orang lain bukan berdasarkan pribadinya namun ber­dasarkan harta dan kedudukannya. Orang menghormat orang lain bukan berdasarkan sikap pribadinya melainkan berdasar­kan bagusnya pakaian dan padatnya kantung. Manusia sudah tidak dapat me­nguasai dirinya sendiri yang sudah sepenuhnya dikuasai harta benda dan kedudukan. Manusia hanyalah abdi-abdi nafsu kesenangan yang amat lemah dan menyedihkan

 “Anak-anak yang baik. Tidak ada pengorbanan apa-apa. Yang keras kalah oleh yang lunak, Itu sudah sewajarnya. Yang lenyap diganti oleh yang muncul, yang mati diganti oleh yang lahir. Apa bedanya? Paling pen­ting, mengenal diri sendiri termasuk kelemahan-kelemahan dan kebodohan-kebodohannya, sadar insyaf dan kembali ke jalan benar. Yang lain-lain tidakkah penting lagi.

Di dunia ini tidak ada peristiwa yang aneh! Segala yang terjadi adalah wajar, siapa yang memaksa kita harus bersuka atau berduka? Yang telah terjadi tetap terjadi peristiwa yang sudah terjadi merupakan hal yang telah lewat dan tidak mungkin dapat dirubah lagi, seperti lewatnya matahari dari timur kemudian lenyap di barat. Tergantung kepada kita bagaimana menerima terjadi­nya peristiwa itu. Mau di terima dengan duka, atau dengan suka, tidak ada yang memaksa dan tidak akan mempengaruhi atau merubah kejadian itu. Karena itu, mengapa berduka? Muka yang berduka tidak sedap dipandang! Daripada menangis, lebih baik tertawa! Daripada berduka, lebih baik bersuka kalau keduanya tidak merubah nasib!”


MUTIARA HIDUP

Kebahagiaan hanya dapat dirasakan oleh orang yang tidak membutuhkan apa-apa! Bahkan tidak membutuhkan kebahagiaan itu sendiri! Keinginan timbul karena panca indera ditempeli pikiran yang membayangkan dan mengenang segala pengalaman kenikmatan jasmani dan kesenangan. Kalau keinginan sudah timbul, maka memuaskan keinginan itulah yang men ciptakan kebutuhan. Ada kebutuhan di susul dengan usaha pencarian, yaitu mencari apa yang dibutuhkan. Sungguh berlika-liku dan sulit ditempuh, padahal setelah mencapai apa yang dicari, hahya mendatangkan kesenangan sesaat saja, kemudian dilupakan untuk di sambung kebutuhan lainnya yang tak kunjung habis, tak kunjung henti karena ke butuhan itu diciptakannya sendiri tanpa sadar. Betapa mungkin manusia yang selalu dikejar-kejar kebutuhan yang diciptakan sendiri oleh kehausan dan kerakusan akan kenikmatan duniawi, dapat merasakan kebahagiaan?
Kebahagiaan bukanlah senang bukan pula susah, bukan jntung bukan pula rugi, karena itu tidak ada kebalikannya, tidak ada perban dingannya. Jika masih dapat disbanding kan, itu bukanlah bahagia!

MUTIARA HIDUP

Perang terjadi semenjak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang. Apakah sebabnya? Tiada lain karena manusia tidak pernah mau mengakui kesalahan pribadi, melainkan melontarkan sebab kesalahan kepada orang laln. Karena manusia selalu dipenuhi oleh kehendak, dipenuhi oleh keinginan, dipengaruhi oleh ingatan-ingatan akan kenikmatan duniawi, akan kedudukan tinggi, akan kekayaan, kemakmuran dan lain sebagainya yang sudah dikenalnya dan didengung-dengungkan orang semenjak dia kecil! Dari kehendak-kehendak yang demikian banyaknya, yang dimiliki oleh seluruh manusia, tentu saja timbul per tentangan karena masing-masing hendak men dapatkan apa yang dikehendakinya. 
Pertentangan inilah yang menimbulkan per musuhan, melahirkan kebencian, mem perebutkan kebenaran masing-masing yang se sungguhnya hanyalah kebenaran palsu belaka, dan sebagai pelaksanaannya terjadilah perang!
Betapa jahatnya manusia yang belum memillki kesadaran ini, semua manusia termasuk pengarang sendiri! Untuk kepentingan pribadi, kita melakukan hal-hal yang amat menjijikkan. Untuk kepentingan pemuasan nafsu badani, kita tidak segan-segan mengotori rohani. Dan semua ini masih dilakukan dengan cara yang memuakkan, yaitu dengan dalih muluk-muluk dan suci, seperti menutupi kotoran dengan kain putih! Biarpun di dasar hati, biarpun jiwa kita yang kotor namun kita, makhluk yang mengaku terpandai di antara segala makhluk, mencari alasan-alasan yang bersih untuk menutupi perbuatan kita yang kotor. Di dalam perang, misalnya. Manusia sampai-sampai tidak segan untuk menarik TUHAN, untuk menggunakan nama-Nya sebagai alasan agar dianggap, sedikitnya oleh hatinya sendiri, bahwa perang yang dilakukannya adalah betul, karena telah diridhoi Tuhan! Dua bangsa yang berlawanan dan saling berperang, sebelum mengangkat senjata untuk membasmi musuh masing-masing, lebih dahulu mohon berkah dari Tuhan dan masing-masing berangkat perang dengan semangat bernyala untuk menyembelih sesama manusia karena merasa bahwa Tuhan akan melindunginya!
Mengutuk perang, mengusahakan perjanjian damai, melenyapkan senjata-senjata dan meniadakan pasukan-pasukan tentara tidak akan mungkin berhasil melenyapkan perang di antara manusia. Karena, perang hanyalah pencetusan daripada pertentangan antar kelompok manusia yang dihidupkan oleh per tentangan di antara manusia-manusia pribadi sendiri. Selama pertentangan antar manusia pribadi ini masih ada, maka per tentangan antar kelompok atau antar bangsa tak mungkin lenyap. Tidak ada perbedaan pokok antara perkelahian antar tetangga dengan peperangan antar negara. Satu-satunya perbedaannya hanyalah dalam bentuk, kecil dan besar. Namun bersumber satu, yaitu dari keinginan mementingkan diri pribadi yang di miliki kedua pihak sehingga timbul pertentang an.


"Mempunyai mata seperti buta
sudah ada dicari-cari keluar menjauh
siapa bisa memisahkan bayangan
dari badan?
yang mencari takkan mendapatkan
yang mendapatkan takkan memiliki
yang memiliki akan kehilangan
yang mengharap akan kecewa
tanpa dicari, tanpa diharap
tanpa dimiliki, tanpa pamrih
hanya membuka mata ke dalam
sadar bahwa semua telah ada
setelah bersatu dengan keadaan
apa lagi yang dicari?"


MUTIARA HIDUP

Di dalam segala macam hal, dalam susah maupun senang, manusia selalu bergerak dan bersikap di atas dorongan sifat sayang diri. Betapapun dukanya hati seseorang karena mengalami derita tertimpa kemalangan, hatinya yang duka itu akan terhibur apabila melihat manusia lain menderita pula, apalagi kalau penderitaan manusia lain itu lebih besar daripada penderitaannya sendiri. Dia dapat membayangkan betapa akan hancur dan sengsara hati setiap orang diri para pengungsi ini andaikata dia seorang yang mengalami nasib buruk seperti itu! Akan tetapi, bertemu dan berkumpul dengan banyak orang lain yang senasib, maka mereka itu merasa terhibur! Sebaliknya, setiap kesenangan dan keuntungan yang datang selalu ingin dikuasai oleh seorang saja sehingga dijadikan perebutan! Sifat sayang diri dan iba diri inilah yang mengusir cinta kasih antara manusia jauh-jauh dari hati manusia sehingga di mana-mana, bahkan di dalam hati masing-masing manusia, timbul pertentangan-pertentangan. Padahal, dengan cinta kasih yang mendalam, setiap kedukaan akan terasa ringan apabila dipikul bersama, sebaliknya di setiap kesukaan akan terasa lebih nikmat apabila dinikmati bersama. Hal ini akan dapat dirasakan oleh setiap orang dalam sebuah

MUTIARA HIDUP

keluarga yang penuh cinta kasih, di mana setiap kedukaan menjadi ringan dan setiap kesukaan menjadi besar karena selalu dirasakan oleh seluruh keluarga yang mengandung cinta kasih di dalam hati masing-masing.

Pokok pangkalnya segala perasaan adalah dari keinginan mendapat yang timbul dari sifat sayang diri. Betapapun juga, segala macam perasaan itu tidak timbul kalau tidak dibakar oleh api pikiran yang menguasai kita se penuhnya melayang-layang dari masa lalu ke masa depan, sehingga setiap gerak perbuatan kita dicetak oleh pikiran kita. Pikiran mem bangkitkan penilaian, perbandingan, dan dengan sendirinya mempertebal rasa sayang diri dan iba diri. Bagaimana timbulnya duka? Dari permainan pikiran yang mengenang atau mengingat-ingat masa lalu. Dari mana timbul nya kecewa, penasaran, kemarahan dan kebenci an? Juga dari permainan pikiran yang menyeret kita mengenang masa lalu. Buktinya Kam-taihiap ini. Setelah dia lupa sama sekali akan masa lalu, maka tidaklah ada persoalan baginya yang timbul dari masa lalu, tidak adakebencian, tidak ada penasaran, tidak ada kedukaan karena tidak ada lagi yang harus

MUTIARA HIDUP

dibuat penasaran, dibenci atau dibuat duka. Yang ada hanya tinggal masa depan baginya. Dan dari mana datangnya kekhawatiran dan ketakutan? Bukan lain dari permainan pikiran yang menyeret kita membayangkan masa depan! Membayangkan hal yang belum ter jadilah maka menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan!

Apa gunanya membayangkan hal-hal yang belum ada? Kita harus belajar mengenal diri sendiri, mengenal pikiran-pikiran kita, mengenal perasaan-perasaan kita, mengenal keinginan-keinginan kita, dan sadar bahwa di dalam diri kitalah sesungguhnya terletak segala sumber, segala sebab akibat, dan segala bahan kesengsaraan. Kita wajib belajar menghadapi kenyataan seperti apa adanya, tanpa penilaian, tanpa perbandingan, tanpa ingatan waktu lampau atau yang akan datang, dan dengan itu, dalam keadaan bebas dan kosong, kita akan selalu dalam keadaan sadar, waspada dan tenang, seperti air telaga yang dalam dan diam, bening sejuk tidak terganggu karena tidak merasa terganggu, penuh pengertian, kesadaran, dan cinta kasih."

Kita sama-sama belajar, karena hidup berarti belajar, dan terutama sekali, di samping pelajaran lahir yang kita butuhkan untuk hidup, jangan lupa mempelajari diri sendiri, mengenal dan menemukan kembali diri pribadi yang selama ini menyeleweng jauh terbawa hanyut oleh sayang diri dari iba diri, menjadi manusia-manusia munafik menjadi pelawak-pelawak yang bermain di panggung sandiwara, tidak sewajarnya sehingga dalam setiap gerak-gerik kita, setiap pikiran kita, semua adalah palsu belaka. Kita sudah terlalu lama hidup dalam alam kepalsuan yang dibentuk oleh manusia sendiri. Sudah terlalu lama kita hidup terbakar oleh bunga-bunga yang mekar dari pohon sayang diri berupa pertentangan, persoalan, dendam, dengki, iri, benci, khawatir, takut, duka dan sebagainya. Kenalilah diri kita sendiri, hadapilah kenyataan apa adanya, dan kita akan terbebas dari apapun juga."

Itulah yang menjadi penyakit dan penghalang umum! Membuang keinginan dengan menghidupkan keinginan baru! Mana mungkin? Mari kita belajar meneliti diri sendiri, mengenal diri sendiri dan segala gerak-gerik pikiran dan perasaan, mengenal sifat-sifat sendiri, dan belajar menghadapi kenyataan tanpa wawasan tanpa ingatan, akan tetapi kalau ada terselip KEINGINAN dalam hatimu bahwa engkau mempelajari itu UNTUK MEMPEROLEH KEBEBASAN, maka engkau akan gagal, Taihiap. Segala perbuatan yang didasari keinginan, didasari pamrih, perbuatan itu adalah palsu belaka, karena ingatlah bahwa yang dimaksudkan BEBAS di sini, bukan hanya bebas dari segala yang secara lahiriah dirugikan, akan tetapi juga bebas dari segala yang menguntungkan. Bebas dari segalanya, juga bebas dari segala macam keinginan, betepapun dianggap suci keinginan itu oleh umum. Kebebasan ini lebih tinggi dari kesadaran, lebih tinggi dari apapun juga karena kebebasan ini berarti cinta kasih. Ahhh, orang seperti aku ini, mana mungkin dapat memberi penjelasan sebaiknya? Marilah kita sama-sama mempelajari diri sendiri seperti apa adanya, dan mudah-mudahan saja batin kita akan terbuka....

Dendam adalah nafsu yang paling buruk dan jahat, sumber dari segala pertentangan dan permusuhan antara manusia. Dendam adalah sifat yang paling menonjol dari iba diri dan kalau kita dimabokkan olehnya, hati dan pikiran kita akan menjadi gelap karena dendam menimbulkan benci dan kebencian menimbulkan kekejaman. Khu-sumoi, katakanlah, siapakah yang kauanggap musuh besarmu, yang mendatangkan dendam sakit hati padamu?"

"Bukankah itu sudah seharusnya demikian, Suheng? Sudah adil kalau budi dendam dibalas sehingga menjadi adil namanya? Bukankah sudah demikian pada umumnya hukum karma?"
Memang demikianlah pendapat umum yang telah menjadi tradisi usang. Karena kepercayaan dan pendapat turun-temurun seperti inilah membuat kita terseret ke dalam arus yang dibuat manusia sendiri dan dinamakan karma. Mata rantai itu terbentuk dari perbuatan-perbuatan yang menghendaki akhiran yang menyenangkan, perbuatan-perbuatan yang bertujuan, berpamrih. Apakah artinya perbuatan baik maupun buruk kalau didasari tujuan tertentu, berpamrih yang bukan lain hanya pencetusan dari rasa sayang diri belaka? Perbuatan demikian itu, baik maupun buruk, adalah perbuatan yang tidak wajar, yang palsu dan karenanya selalu berkelanjutan dan berekor tiada kunjung putus dan menjadi hukum karma. Layaknya kalau hidup kita ini hanya kita isi dengan perbuatan-perbuatan palsu yang lebih patut disebut hutang-pihutang? Tiada kebebasan, tiada kewajaran sama sekali?"

Cobalah renungkan dalam-dalam dan dengarkan baik-baik kata-kataku ini, Sumoi. Orang yang mengingat dan membalas budi orang lain adalah orang yang menghendaki agar budinya diingat dan dibalas orang lain pula!"
"Apa salahnya dengan itu? Saling membalas budi adalah perbuatan orang sopan dan baik!"
Kalau sudah dijadikan keharusan balas-membalas, berarti bayar-membayar dan perbuatan itu tidak patut disebut budi lagi, melainkan semacam hutang-pihutang! Dengan mengingat dan membalas budi orang lain berarti merendahkan orang itu, merendahkan pula nilai perbuatannya yang hanya disamakan dengan hutang! Renungkan baik-baik,

Aku hanya mengajak engkau bersamaku mempelajari hal itu dan bersama mencari tahu apa artinya membalas dendam. Sudah jelas sekarang bahwa budi dan dendam hanyalah pencetusan dari sayang diri yang menciptakan karma, menciptakan sebab dan akibat. Kalau kita tersesat, takkan pernah kita dapat membebaskan diri dan hidup ini menjadi sia-sia, menjadi permainan sebab akibat. Karena Si Akibat sendiri pun berekor dan menjadi sebab dari akibat yang lain lagi. Sedangkan si sebab pun menjadi akibat dari sebab yang terdahulu. Bukankah seyogianya kalau kita membebaskan diri dari ikatan mata rantai yang tiada kunjung putus itu?"

Tanpa disadari oleh manusia sendiri, kehidupan manusia semenjak masih kanak-kanak dan mulai memiliki pengertian tentang perbedaan, tentang baik buruk, senang susah, rugi untung, enak tidak enak, sepenuhnya dicengkeram dan dikuasai oleh nafsu-nafsu mementingkan diri pribadi, nafsu mencari kesenangan duniawi bagi diri pribadi. Namun, karena pada dasarnya manusia memiliki sifat kebajikan, maka terjadilah perang di dalam hati nurani manusia sendiri. Satu fihak merupakan dorongan nafsu yang mendorong manusia memperebutkan kesenangan bagi diri pribadi, di lain fihak merupakan kesadaran manusiawi yang mencegah manusia melakukan perbuatan­-perbuatan yang tidak benar. Maka lahirlah perbuatan-perbuatan yang sesungguhnya merupakan hamba nafsu namun yang berkedok kebenaran! Perbuatan yang dilakukan demi dorongan nafsu mementing­an diri pribadi terhibur oleh anggapan bahwa perbuatan itu demi kebenaran. Otak dan akal manusia tidak kekurangan bahan untuk mencari “kebenaran” yang menopengi perbuatan menghamba nafsu ini. Ada saja alasan, yang diperaya pula oleh diri sendiri, bahwa perbuatan ini adalah benar dan demi kebenaran! De­ngan demikian, setiap perbuatan di dunia ini selalu dianggap benar oleh si pembuat sendiri, dan terciptalah pertempuran-pertempuran dalam memperebut kan kebenaran! Benarnya sendiri-sendiri! Benarnya masing-masing! Benar bagi diri sen­diri yang belum tentu benar bagi fihak lain. Dan terciptalah KEBENARAN NAF­SU, yaitu bahwa apa saja yang menda­tangkan enak, senang dan untung bagi AKU, maka itu adalah BENAR!

"Yang tidak ingin itu cukup dan puas
Yang ingin itu kurang dan kecewa!
Yang tidak mencari akan mendapat
Yang mencari akan sia-sia....!
Yang ada tidak dimanfaatkan
Yang tidak ada dicari-cari!"

Ketahyulan adalah suatu kebodoh­an. Suatu kepercayaan akan adanya roh jahat atau setan iblis yang suka mun­cul dan mengganggu manusia secara jas­maniah. Ketahyulan merupakan kebodohan yang amat berbahaya dan muncul karena kekurang-kuatan iman terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia yang sudah menyerahkan seluruh hidupnya, seluruh jiwa raganya kepada Tuhan, tentu tidak akan mudah termakan tahyul, atau dengan lain kata, tentu tidak akan takut ter­hadap gangguan iblis karena yakin bah­wa Tuhan akan melindungi setiap orang manusia yang pasrah kepada Tuhan terhadap segala macam iblis. Orang yang tahyul bukanlah berarti orang yang tidak percaya akan adanya roh jahat dan ib­lis. Melainkan orang yang tidak takut terhadap iblis, tidak memuja saking takutnya. Orang yang tahyul condong un­tuk memuja iblis, setidaknya menghor­matinya dan tunduk. Inilah bedanya. Yang tidak tahyul menghadapi godaan iblis dengan penyerahan dan iman kepada Tuhan, sebaliknya yang tahyul mengha­dapi godaan iblis dengan usaha menyenangkan hati iblis agar tidak mengganggunya, dengan memberi persembahan dan sebagainya.
Rasa takut timbul dari pikiran yang membayangkan hal-hal yang belum nyata dan belum ada. Membayangkan ke­mungkinan-kemungkinan yang lebih buruk akan menimpa dirinya, maka timbullah rasa takut. Rasa takut timbul dari pi­kiran yang mengingat pengalaman lampau, masa lalu, dan membayangkan kemungkin­an buruk masa depan. Orang yang hidup di saat ini, dengan penuh kewaspadaan, dilandasi iman dan penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, tidak pernah merasa takut. Pikiran kita merupakan a­lat hidup yang teramat penting, yaitu untuk mempergunakan akal budi demi
ke­selamatan dan kesejahteraan kehidupan lahiriah. Sebaliknya akan menjadi sua­tu kekuasaan yang amat berbahaya kalau kita membiarkan pikiran yang bergeli­mang nafsu itu menguasai jiwa.

Kalau burung berkelompok karena persamaan bulunya, manusia berkelompok karena persamaan selera dan cara hidupnya. Kalau sekelompok orang sama-sama menjadi hamba nafsu, tentu mereka da­pat menjadi akrab dan bersahabat. Kegemaran mereka sejalan dan sama, yaitu pemuasan nafsu dan pengejar kesenang­an. Celakah orang yang hidup sebagai hamba nafsunya sendiri, tanpa menyadari bahwa nafsu yang menyuguhkan segala macam kesenangan itu sesungguhnya merupakan musuh yang paling jahat, yang a­kan dapat menyeret para hambanya ke dalam lembah duka dan kesengsaraan. Ke­nyataan ini bukan berarti bahwa nafsu adalah sesuatu yang amat buruk dan ha­rus dilenyapkan dari diri kita. Sama sekali tidak! Nafsu sudah ada semenjak kita lahir. Nafsu, karena itu, juga merupakan anugerah Tuhan. Tuhan telah mengikutkan nafsu kepada kita sejak la­hir, seperti juga mengikutkan hati, perasaan, pikiran dan semua anggauta ba­dan kita. Seperti juga yang lain itu, nafsu hanya merupakan pelengkap, meru­pakan alat, bahkan alat hidup yang penting sekali. Tanpa adanya nafsu, kita tidak mungkin dapat hidup. Nafsulah yang membuat kita bergairah, untuk bekerja, untuk makan, untuk minum, bahkan dalam setiap panca indera kita, nafsu mendatangkan kenikmatan dalam mendengar, melihat, mencium dan sebagainya. Nafsu pula yang mendorong manusia untuk saling menghubungi lawan jenisnya sehingga manusia dapat berkembang biak. Sesungguhnyalah, nafsu merupakan alat yang teramat penting dan baik, nafsu merupakan hamba yang amat setia dan berguna. Akan tetapi, daya-daya rendah kebendaan, yaitu ikatan kita dengan segala macam benda ciptaan manusia sendiri, daya rendah tumbuh-tumbuhan dan hewam yang memasuki tubuh kita melalui makanan, daya rendah jasmani yang menimbulkan ikatan antar manusia dalam hubungannya, semua itu saling berlomba melalui nafsu untuk menjadi majikan atas diri manusia. Dan nafsu yang dapat menjadi hamba paling baik itu, sekali dibiarkan menjadi majikan, akan memperbudak kita. Jiwa yang merupakan unsur paling murni di dalam diri, tertutup dan tidak berdaya sehingga diri sepenuhnya dikuasai oleh nafsu. Setiap pikiran, kata-kata dan per­buatan kita bergelimang nafsu! Dan be­tapapun manusia berusaha untuk member­sihkan diri dari nafsu, untuk membebaskan diri dari cengkeraman nafsu yang memperbudak kita, semua usaha itu akan sia-sia dan gagal. Karena usaha itu a­dalah hasil dari pikiran yang sudah bergelimang nafsu pula. Tidak mungkin pikiran yang bergelimang nafsu ini membersihkan pikiran sendiri dari nafsu. Usaha itu masih berputar di dalam lingkaran yang dikuasai nafsu. Hanyakekuasaan yang berada di luar lingkaran itu sajalah yang akan mampu membebaskan kita. Dan kekuasaan itu adalah kekuasaan mutlak, yaitu kekuasaan Tuhan! Karena nafsu merupakan ciptaan Tuhan, maka kekuasaan-Nya sajalah yang akan mampu me­ngatur, akan mampu membersihkan jiwa dari gelimangan nafsu, dan akan mampu membuat nafsu menduduki tempat yang semestinya, yaitu sebagai alat hidup ma­nusia, bagaikan kuda penarik yang ji­nak dan penurut, bukan liar dan binal! Dan kekuasaan Tuhan pasti akan bekerja selama kita tidak mengagungkan diri sendiri yang sesungguhnya rendah, me­nyombongkan kekuatan sendiri yang sesungguhnya lemah. Kekuasaan Tuhan akan bekerja kalau kita mawas diri, melihat kenyataan betapa kecil kita ini di ha­dapan kekuasaan Tuhan, kalau kita ren­dah hati lahir batin dan menyerah kepada Tuhan dengan ikhlas, tawakal dan sabar.

Dalam kedudukannya yang bagaimana pun juga, manusia tidak akan dapat terlepas dari nafsunya sendiri. Dia boleh berusaha dengan cara bagaimanapun, bertapa, menjauhi keramaian dunia, menyendiri, berpuasa, berpantang apapun, namun tetap sekali waktu dia akan dicengkeram dan dikuasai nafsunya sendiri. Semua usahanya itu hanyalah usaha yang dilakukan oleh akal pikirannya sendiri belaka, dan akal pikiran takkan mung­kin membebaskan batin dari cengkeraman nafsu. Nafsu sudah melekat kepada kita, merupakan alat yang amat penting bagi kita, namun juga merupakan penggoda yang paling berbahaya, yang akan menyeret kita ke dalam kesesatan dan perbuatan yang tidak benar. Kalau sudah begitu, maka nafsu tidak lagi menjadi a­lat kita, bahkan kita diperalat oleh nafsu! Semua usaha untuk membebaskan diri dari nafsu digerakkan oleh nafsu itu sendiri yang sudah menjadi satu dengan hati dan akal pikiran, bersatu dengan panca indera kita. Apapun yang kita lakukan melalui pikirin, tentu berpamrih.
Nafsu selalu berpamrih, yaitu pamrihnya mencari senang atau yang kita anggap akan mendatangkan kesenangan. Dan untuk semua perbuatan yang timbul dari dorongan nafsu, pikiran kita yang amat licik dan cerdik selalu sudah mempersiapkan diri menjadi pembela, dengan segala daya akan mencari alasan untuk membenarkan tindakan kita itu.
Nafsu memang penting bagi kita, sebagai pendorong agar kita dapat memenuhi semua keperluan hidup di dunia ini, keperluan jasmani kita, makan, pakaian, tempat tinggal, dan semua kebutuhan lain. Nafsu mutlak perlu untuk hidupnya jasmani kita, karena tanpa nafsu berarti mati. Akan tetapi, kalau nafsu sudah mencampuri urusan batin, maka nafsu hanya menjadi sebab timbul­nya duka dan sengsara, nafsu mendatangkan iri, marah, benci, cemburu, dengki takut, malu dan segala macam perasaan. Nafsu bagaikan api, kalau terkendali menjadi pelayan yang baik sekali, sebaliknya kalau liar tak terkendali, da­pat menimbulkan kebakaran dan kerusak­an.

Namun, pengendalian yang dilakukannya adalah pengendalian yang dilakukan dengan akal pikiran, dengan kemauan yang bukan lain adalah daya rendah pu­la. Yang dikendalikan nafsu, yang me­ngendalikannya juga bergelimang naf­su. Oleh karena itu, walaupun nampak­nya dia hidup sebagai orang yang bebas dari cengkeraman nafsu, namun sesungguhnya nafsu masih menguasainya dan sekali waktu akan runtuh pertahanannya. Yang mendorong dia untuk menentang Dalai Lama, untuk dapat menguasai Tibet, apa lagi kalau bukan nafsu? Namun, tentu saja pikirannya dapat melakukan pembelaan secara cerdik sehingga dia beranggapan bahwa apa yang dilakukannya itu adalah suci murni, demi kebaikan, demi kesejahteraan rakyat, demi menentang pemerintah lalim dan sebagainya. Padahal, di dasar semua itu, mendekati nafsu ingin mendapatkan sesuatu yang dianggap akan menyenangkan hatinya, dalam hal ini kekuasaan!
Lalu bagaimana sebaiknya bagi kita? Kalau dibiarkan, nafsu merajalela dan menguasai kita, bagaikan api membakar dan merusak. Kalau dikendalikan, tidak akan berhasil karena yang mengendalikan juga pikiran bergelimang nafsu sehingga selalu berpamrih. Kalau dimatikan, orangnya harus mati pula! Apa yang dapat kita lakukan? Tidak ada apa-apa yang dapat kita lakukan! Tidak ada apa-apa, karena yang dapat mengatur nafsu, yang dapat mengatur alat-alat bagi kehidupan kita adalah yang menciptakannya, yang membuatnya. Dan penciptanya adalah Tuhan! Oleh karena itu, kita hanya dapat menyerah, hanya dapat pasrah, kepada kekuasaan Tuhan. Menyerah sepenuhnya, sebulatnya, selengkap­nya, penuh ketawakalan, kesabaran dan keikhlasan.
Badan ini hanya sebuah tempat, sebuah rumah. Semua daya rendah, panca indrya, hati, akal pikiran dan nafsu-nafsunya, hanya merupakan alat-alat dalam rumah. Penghuni rumah yang menguasai semua alat itu sesungguhnya adalah jiwa! Jiwa menjadi majikannya, nafsu, hati dan akal pikiran menjadi pelayan dan alat. Namun sungguh sayang, karena kita sudah lupa bahwa kita ini jiwa, lupa karena setiap hari dipermainkan oleh nafsu akal pikiran yang merajale­la dan merebut kekuasaan menjadi majikan dalam badan kita. Kita ini bukan pikiran. Pikiran bisa mati namun badan tetap hidup. Sebaliknya, kalau jiwa meninggalkan badan, semua pelayan dan alat itupun akan mati. Dalam keadaan tidur atau pingsan, hati akal pikitan untuk sementara seperti mati, tidak bekerja. Namun, kita tetap hidup karena jiwa masih bersemayam di dalam badan. Kita tidak pernah memiliki rasa diri ini, lupa akan keadaan yang lebih dalam karena kita selalu terseret oleh keadaan lahir yang dangkal saja, kare­na dipermainkan nafsu yang selalu me­ngejar kesenangan dangkal.

Bukan pasrah namanya kalau di dalam batin masib mengandung pamrih. Bukan pasrah namanya kalau di dalam batin masih terdapat rasa takut. Pasrah berarti tidak bekerjanya hati dan pikiran, pasrah berarti tidak ada­nya nafsu. Yang ada hanya pasrah, penuh kesabaran, penuh ketawakalan, pe­nuh keikhlasan, menyerah kepada kekua­saan Tuhan.
Tuhan Maha Kuasa! Tuhan Maha Ka­sih!

Betapa setiap orang manusia sela­lu INGIN menjadi sesuatu, ingin ada artinya, ingin menonjol, ingin diakui keadaan dan kepribadiannya. Betapa seti­ap orang manusia haus akan hal ini. Dari seorang kanak-kanak sampai tua ren­ta, semua membutuhkan perhatian, membutuhkan pengakuan. Semua orang takut a­kan kehilangan arti dirinya, takut un­tuk menjadi sesuatu yang BUKAN APA-APA. Semua orang berlumba untuk menjadi apa-apa, menjadi yang terpenting, terpan­dai, terkuasa, tertinggi, terbesar. Justeru keinginan inilah yang menimbulkan konflik dalam kehidupan, menimbul­kan konflik dan perebutan, persaingan dan permusuhan antara manusia. Justeru keinginan untuk menjadi yang “ter” inilah yang menjauhkan manusia dari Tuhannya. Ingin menjadi sesuatu yang berar­ti ini pekerjaan nafsu daya rendah. Keinginan nafsu daya rendah ini bagaikan air kotor yang memenuhi botol, sehingga air suci tidak dapat memasukinya. Mungkinkah selagi hidup ini tidak ingin menjadi sesuatu yang menonjol, tidak menginginkan sesuatu yang tidak a­da, melainkan menerima apa adanya sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Kasih?
Mungkinkah membiarkan diri kosong dan bersih sehingga cahaya kekuasaan dan cinta kasih Tuhan dapat memenuhi­nya? Dengan penyerahan diri, menyerah dengan penuh keikhlasan, penuh kesabaran dan penuh ketawakalan? Mungkinkah selagi hidup ini memiliki kerendahan hati yang membuat kita sadar sepenuh­nya bahwa kita ini sesungguhnya “bukan apa-apa”, bahwa yang kita manjakan ini, yang kita namakan “aku” ini hanya­lah segumpal darah daging penuh nafsu daya randah? Mungkinkah membersihkan semua kotoran itu dari jiwa yang ditimbuninya, agar jiwa yang berasal dari Tuhan itu dapat memperoleh kembali hu­bungan kontak dengan Tuhan? Kecerdikan pikiran jelas tidak akan mampu melaku­kan ini, karena pikiran hanyalah alat, alat untuk kehidupan jasmari, dan alat inipun sudah bergelimang nafsu daya rendah!

Hanya kalau nafsu daya rendah yang membentuk si-aku tidak lagi menguasai diri, hanya kalau hati dan akal pikir­an tidak lagi bersimaharajalela, jiwa akan mendapatkan kembali kontaknya dangan kekuasaan Tuhan! Dan kalau sudah begitu, kekuasaan Tuban akan bekerja dalam diri. Keadaan seperti ini tidak mungkin dapat ditimbulkan karena usaha pikiran, karena pikiran adalah si-aku, yang lapuk, si-aku yang mengaku-aku. Hanya dengan melenyapkan diri yang me­ngaku-aku, merendahkan dan mengecilkan diri, hanya dengan pasrah yang tulus ikhlas, maka diri lahir batin akan dibersihkan oleh kekuasaan Tuhan, kemudian kekuasaan Tuhan akan bersemayam, membangkitkan jiwa. Hanya kalau sudah demikian, maka kita dapat htdup seutuhnya, bebas daripada cengkeraman nafsu daya rendah yang telah kembali kepada kedudukan dan tugasnya semula, yaitu menjadi alat dan pelayan.

bahwa budi dan dendam hanyalah pencetusan dari sayang diri yang menciptakan karma, menciptakan sebab dan akibat. Kalau kita tersesat, takkan pernah kita dapat membebaskan diri dan hidup ini menjadi sia-sia, menjadi permainan sebab akibat. Karena Si Akibat sendiri pun berekor dan menjadi sebab dari akibat yang lain lagi. Sedangkan si sebab pun menjadi akibat dari sebab yang terdahulu. Bukankah seyogianya kalau kita membebaskan diri dari ikatan mata rantai yang tiada kunjung putus itu?"

Syarat memimpin negara dan dunia
adalah sembilan kebenaran
memperbaiki diri sendiri
menghargai orang bijak dan pandai
mencinta sanak keluarga
menghormat pembesar tinggi
mengasihi pembesar rendah
mencinta rakyat seperti anak
mengundang ahli-ahli bangunan
menghibur pengunjung dari jauh
mengikat persahabatan dengan negara lain!”

“Orang-orang yang berlepotan lumpur kotor akan tetapi menyadari akan kekotorannya lalu mandi dan tidak bermain lumpur lagi, bukankah hal itu amat menyenangkan? Orang-orang yang bermain lumpur akan tetapi tidak sadar akan kekotorannya akan tetapi tidak mau membersihkan diri dan menginsyafi kekeliruannya, bukankah hal itu amat bodoh dan patut disesalkan?”

“Tidak ada pengorbanan apa-apa. Yang keras kalah oleh yang lunak, itu sudah sewajarnya. Yang lenyap diganti oleh yang muncul, yang mati diganti oleh yang lahir. Apa bedanya? Paling penting, mengenal diri sendiri termasuk kelemah­an-kelemahan dan kebodohan-kebodohannya, sadar insyaf dan kembali kejalan benar. Yang lain-lain tidaklah penting lagi. Selamat berpisah.” Setelah berkata demikian, ia bangkit berdiri lalu berjalan terhuyung-huyung keluar dari dalam terowongan itu dengan wajah berseri dan mulut tersenyum!

Semenjak ia muda dahulu sampai sekarang, generasi telah berganti namun watak manusia masih sama saja. Hidup manusia sudah tidak sewajarnya lagi. Hati dan pikiran manusia diselubungi hawa keduniaan sehingga orang mempercaya orang lain bukan berdasarkan pribadinya namun ber­dasarkan harta dan kedudukannya. Orang menghormat orang lain bukan berdasarkan sikap pribadinya melainkan berdasar­kan bagusnya pakaian dan padatnya kan­tung. Manusia sudah tidak dapat me­nguasai dirinya sendiri yang sudah sepenuhnya dikuasai harta benda dan ke­dudukan. Manusia hanyalah abdi-abdi nafsu kesenangan yang amat lemah dan menyedihkan!

Tidak ada pengorbanan apa-apa. Yang keras kalah oleh yang lunak, Itu sudah sewajarnya. Yang lenyap diganti oleh yang muncul, yang mati diganti oleh yang lahir. Apa bedanya? Paling pen­ting, mengenal diri sendiri termasuk kelemahan-kelemahan dan kebodohan-kebo­dohannya, sadar insyaf dan kembali ke jalan benar. Yang lain-lain tidakkah pen­ting lagi.

Apa artinya kebangsawananmu kalau itu tidak ditrapkan dalam tata susila dan kesopan­an? Apa artinya kaya kalau kau tidak suka membantu orang-orang miskin? Apa artinya pandai silat kalau kau tidak mau membela yang lemah? Semua itu malah akan menyeretmu ke dalam jurang kehinaan

"Sesungguhnya yang ada itu bukan, karena yang ada itu diadakan oleh pikiran manusia."
Yang ada itu bukan, karena diadakan oleh pikiran manusia. Yang bisa dinamakan bukanlah nama sejati! Awal Langit Bumi adalah Tanpa Nama. Jadi jelas bahwa yang dikatakan Aku Sejati itu sesungguhnya bukanlah yang sejati! Aku Sejati yang dimaksudkan itu hanyalah buatan pikiran manusia saja, jadi palsu karena dia ada oleh pikiran yang mengada-ada! Yang sejati tentu tidak bisa disebut dengan nama. Adakah manusia di dunia ini yang sudah bertemu dengan Aku yang Sejati?"

"Jalan (Tao) yang dapat dipergunakan sebagai jalan bukanlah Jalan (Tao) yang sejati.
Nama yang dapat dipergunakan sebagai nama bukanlah nama sejati.
Tanpa Nama adalah awal Bumi dan Langit.
Dengan Nama adalah ibu segala benda
Tidak Ada kalau kita ingin menyatakan rahasianya.
Ada kalau kita ingin menyatakan keadaannya;
keduanya berpasangan walau namanya berbeda;
pasangan yang disebut amat gaib pintu semua rahasia!"

Tahukah engkau? Siapa yang sengsara, yang tidak bahagia, maka dia merindukan kebahagiaan, dia mengejar kebahagiaan. Setelah dia merasa mendapatkan kebahagiaan, maka kebahagiaan yang didapatkannya itu hanyalah kebahagiaan palsu hasil khayalan pikirannya belaka, tidak akan kekal. Orang bahagia tidak akan merasakan kebahagiaannya sudah menjadi satu. Kalau terpisah, berarti tidak bahagia, dan kebahagiaan hanya menjadi renungan saja!

Kebenaran bukanlah kebenaran kalau dinyatakan oleh mulut dan pikiran! Kebahagiaan bukanlah kebahagiaan kalau dinyatakan oleh pikiran. Aku Sejati pun bukan Aku Sejati kalau dinyatakan oleh pikiran. Semua adalah khayalan pikiran karena pelajaran-pelajaran yang pernah didengar atau dilihatnya meniru-niru dan mengulang-ulang barang lama pusaka usang!"
Pikiran merupakan kertas putih bersih dan kalau sudah terlalu penuh dengan coretan-coretan beraneka warna, tidaklah mudah untuk membersihkannya, walaupun bukan tidak mungkin. Dan selama kertas itu tidak kembali putih bersih dan kosong seperti semula, maka selalu akan menjadi kabur oleh bekas-bekas goresan, bahkan akan diselundupi goresan-goresan baru. Aihhh, kini aku mengerti mengapa kaum budiman di jaman dahulu, memuji dan mengagumi kehidupan anak-anak yang bagaikan kertas putih belum ternoda oleh goresan-goresan kotor!"

percaya atau tidak percaya hanyalah merupakan kebodohan. Kalau kita ingin mengerti, kita harus melakukan penyelidikan dengan penuh perhatian dan kesungguhan. Setelah kita mengerti, tidak ada lagi persoalan percaya atau tidak. Setelah kita melihat bahwa matahari terbit dari timur, tidak ada lagi persoalan percaya atau tidak, bukan? Setelah kita merasakan sendiri bahwa jantung kita berdenyut, tidakada persoalan lagi apakah kita percaya atau tidak akan hal itu. Percaya atau tidak hanya timbul kalau kita belum mengerti, dan tidak ada gunanya sama sekali. Selama kita didorong keinginan mengerti apakah ada Aku Sejati, selama kita didorong keinginan mencarinya, kita tidak akan pernah mengerti tentang Aku Sejati, atau Kebahagiaan, atau Cinta Kasih, atau sebutan suci lain lagi. Mari kita sama-sama menyelidikinya, Bu-tek Siauw-jin, dengan mengenal diri sendiri, mengenal nafsu-nafsu kita, mengawasi kesemuanya itu dan menyadari apa yang kita hadapi saat ini. Bebas dan bersihnya pikiran dari masa lampau dan semua goresannya melenyapkan sang aku yang selalu menjadi pusat segala pemikiran, dan pergerakan manusia sehingga timbullah pertentangan-pertentangan karena perpisahan dan pemecahan-pemecahan antara aku dan engkau dan dia dan mereka!"

Pikiran adalah penampungan masa lalu, gudang dari semua hal yang dialami seratus tahun yang lalu atau kemarin. Pikiran adalah kenangan dari semua itu, mengenangkan hal yang menyenangkan dan hal yang tidak menyenangkan. De­ngan sendirinya pikiran menciptakan Si Aku yang tentu saja segera melakukan pemilihan, menghindarkan hal yang tidak menyenangkan dan rindu akan hal yang menyenangkan. Kalau sudah begini, bagaimana tidak akan timbul suka dan duka? Bagaimana tidak akantimbul iri, dendam, benci dan sengsara?”

“Kita melihat setangkai kembang yang indah dan harum. Tidak akan terjadi aki­bat sesuatu yang buruk dari kejadian ini. Akan tetapi pikiran masuk dan mengacaunya. Pikiran membayangkan hal-hal yang menyenangkan dari masa lalu mengenai kembang itu, dan karena pikir­an berputar dengan pusatnya Si Aku yang diciptakannya, maka timbullah nafsu keinginan untuk memetik kembang itu, untuk menciumnya, dan untuk mengambilnya sebagai miliknya pribadi! Nah, setelah demikian, mulailah kekacauan yang akan terus berekor dan berakibat. Kembang dipetik secara kasar dan marahlah Si Pemilik kembang, disusul percekcokan dan lain-lain.”

Aku dapat mengikuti dan mengerti uraianmu itu, Bu-tek Siauw-jin, dan memang agaknya tidak salah lagi bahwa nafsu keinginan timbul dari pikiran yang mengenangkan pengalaman masa lalu yangmemisah-misahkan kesenangan dan penderitaan. Hal-hal yang menimbulkan kesenangan melekat dan ingin didapatkan terus, sedangkan hal yang sebaliknya ingin dihindarkan. Pendapat dibentuk dan ditentukan oleh pusat yaitu Si Aku, se­hingga yang menyenangkan Si Aku selalu dikejar, yang menyusahkan Si Aku dijauhi. Ini menimbulkan pertentangan-pertentang­an. Benar sekali! Akan tetapi, apa hu­bungannya dengan iri?”
“Karena nafsu ingin memiliki yang menyenangkan sudah ditimbulkan pikiran, maka melihat yang menyenangkan dimi­liki orang lain, timbullah kecewa dan iri hati. Yang menimbulkan iri tentulah hanya yang menyenangkan saja.”
“Bagaimana dengan dendam dan ben­ci?”
“Dendam menimbulkan benci dan keduanya ini memang serupa. Dendam kebencian inipun ditimbulkan oleh pikiran yang mengenangkan masa lalu, menge­nangkan hal-hal tidak menyenangkan yang dilakukan orang lain kepadanya. Kebenci­an kepada seseorang akan melekat terus selama pikiran mengenangkan masa lalu yang tidak menyenangkan dirinya itu. Si Aku diganggu, dirugikan, dibikin tidaksenang, pikiran berupa ingatan atau kenangan memperkuat ini dan menimbul­kan dendam kebencian. Semua ini tentu saja melahirkan pertentangan, permusuhan dan kesengsaraan.”

Marilah kita cari bersama persoalan duka ini. Apakah sebenarnya duka di hati? Bagaimana timbulnya dan dari mana timbulnya? Saya berduka misalnya. Tentu berduka tentang sesuatu yang telah lalu. Sebuah pengalaman lalu yang amat tidak menyenangkan hati, berlawanan dengan keinginan hatiku dan apa yang kuinginkan tidak tercapai. Dari semua inilah timbul­nya duka, bukan? Dan bagaimana keduka­an timbul? Tentu saja kalau pikiran kita main-main lagi, mengenangkan hal yang lalu itu. Jadi, sebetulnya duka itu tidak ada, sahabatku. Yang ada hanyalah per­mainan pikiran yang menggali masa lalu, bayangan-bayangan masa lalu ini ditekan-tekankan sendiri dalam perasaan, maka datanglah duka. Sebetulnya yang ada itu bukan, karena yang ada itu diadakan oleh pikiran sendiri!