Halaman

23.7.11

HUKUM AHLUL FITRAH

Turunnya syariat dan penyampaiannya merupakan syarat taklif (pemberlakuan hukum) dan menentangnya mewajibkan dikenakannya siksa, maka setiap orang yang belum sampai kepadanya syariat tersebut dimaafkan di hadapan Allah, sampai ditegakkannya hujjah Allah Ta'ala, baik dengan diutusnya rasul-rasul-Nya maupun dengan mengujinya pada hari kiamat kelak.
Istilah yang dipergunakan untuk menyebut orang-orang yang meninggal dunia sebelum datang kepada mereka rasul yang memberikan kabar gembira dan peringatan adalah istilah ahlul fitrah. Namun, keberadaan ahlul fitrah ini telah tiada (habis) dengan diutusnya Nabi Muhammad bin Abdullah saw. Syekh asy-Syanqithi Rahimahullah berpendapat mengenai firman Allah: "... dan kamu telah berada di tepi jurang neraka. lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya ...." (Ali Imran: 103), ia berkata, Diturunkannya risalah Nabi Muhmmad saw telah menghapus 'udzr (pengampunan) bagi siapa pun. Maka, setiap orang yang tidak mempercayai tidak ada jarak antara dirinya dengan neraka (ia masuk neraka) hingga ia meninggal, sebagaimana firman Allah Ta'ala menjelaskan: "Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang ada mempunyai bukti yang nyata (Alquran) dari Rabbnya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum Alquran itu telah ada kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat. Mereka itu beriman kepada Alquran. Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Qurasy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada Alquran, maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya, karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap Alquran itu. Sesungguhnya (Alquran) itu benar-benar dari Rabbmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman." (Hud: 17).
Rasulullah saw bersabda, "Demi Dia yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak ada seorang pun dari umat ini, dari seorang Yahudi dan tidak pula seorang Nashrani yang mendengar kepadaku kemudian ia meninggal dan tidak percaya pada apa yang aku bawa, kecuali ia adalah penghuni neraka." (Dikeluarkan oleh Imam Muslim pada kitab al-Iman, bab Wujud al-Iman bi Risalah Nabiyyina Muhmmad saw, juz 1, h. 134, juz 240).
Dari hadis ini ada beberapa ketentuan yang berkaitan dengan ahlul fitrah, di antaranya:
  • Hukum ahlul fitrah di dunia adalah kafir, karena mereka tidak menganut agama apa pun yang benar.
  • Semua orang yang masuk neraka, baik dari kalangan mereka maupun dari golongan lain niscaya didasarkan pada satu hujjah Allah Ta'ala sesuai dengan firman-Nya, Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka, 'Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?' Mereka menjawab: 'Benar ada, sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustkan(nya) dan kami katakan:'Allah tidak menurunkan sesuatu pun; kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar'." (Al-Mulk: 8 -- 9), dan firman-Nya: "Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul." (Al-Isra: 15).
  • Kami tidak memastikan bahwa mereka masuk ke dalam neraka, tetapi mereka akan diuji pada hari kiamat di "pelataran" antara surga dan neraka. Orang yang taat akan masuk ke dalam surga dan di sana ilmu Allah akan terungkap melalui orang yang telah mendapatkan kebahagiaan, dan orang yang berbuat dosa akan masuk ke dalam neraka, dan ilmu Allah akan terungkap pula melalui orang yang mendapat kepedihan.
Demikian ketentuan mengenai ahlul fitrah menurut pandangan mazhab Ahli Sunnah. Fondasi bangunan pandangan adalah kombinasi (penggabungan) dari nash-nash yang telah dikeluarkan yang mengemukakan masalah mereka. Sedangkan orang yang bersandar pada salah satu bentuk dari nash tersebut sesungguhnya ia jauh dari benar. Namun, al-Hafizh Abu Umar bin Abdul Barr berbeda pendapat dalam masalah ini. Ia melihat bahwa hadis-hadis ini tidak kuat dan tidak dapat dijadikan hujjah, sebagaimana halnya bahwa Daar al-akhirah (akhirat) adalah tempat diberlkukannya balasan (pahala dan siksa) bukan tempat pengujian. Ia mengatakan, "Beberapa pendapat mengenai hadis-hadis pada bab ini, semua yang telah saya sebutkan dan yang belum disebutkan merupakan hadis-hadis yang berasal dari para syekh (guru-guru), dan di dalamnya terdapat beberapa cacat. Hadis-hadis tersebut bukan berasal dari imam-imam ahli fikih, sedangkan hal itu merupakan pokok persoalan yang besar. Maka memutuskan hukum berdasarkan hadis-hadis ini merupakan suatu kelemahan dalam ilmu dan nalar..." (At-Tahmid, juz 18, h. 130).
Sementara, Ibnu Katsir menanggapi hal ini dalam "tafsirnya", juz 5, h. 55 dengan mengemukakn dua hal, yakni:
1. Di antara hadis-hadis pada bab ini terdapat hadis yang sahih, hasan, dan ada pula yang dha'if (lemah), yang dikuatkan oleh hadis sahih dan hasan. Jika hadis-hadis pada satu pokok persoalan bertingkat-tingkat, seperti pola ini, maka menurut pengamat, hadis-hadis tersebut dapat dijadikan hujjah.
2. Perintah yang tertulis (manshuh) adalah di masa-masa permulaan hari kiamat, dan ini tidak ada halangannya, berdsarkan firman Allah Ta'ala: "Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa," (Al-Qalam: 42). Demikian maksud pendapat Ibnu Katsir Rahimahullah. (Lihat Radd Ibnu Qayyim ri Thariqah al-Hijratain, 399 -- 402, pendapatnya kuat dan argumentatif).
An-Nawawi Rahimahullah berpendapat bahwa orang-orang kafir dalam neraka, meskipun ia meninggal pada masa di antara dua nabi (fatrah); hal demikian karena petunjuk dan kenteks dari beberapa hadis mengenai ditimpakannya siksa kepada sebagian dari ahlul fitrah. (Syarh Muslim, karya an-Nawawi, juz 3, h. 97).
Sebagian orang yang berpendapat bahwa letak dimaafkannya orang yang berada pada masa fatrah yang tertera pada ayat "Dan Kmi tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul." (Al-Isra: 15) dan pada ayat-ayat yang serupa adalah tidak begitu jelas letaknya, yang kurang dapat diterima oleh orang berakal. Sedangkan pernyataan yang jelas yang tidak menimbulkan keraguan bagi orang yang berakal, seperti menyembah berhala, maka dalam kasus ini tidak ada seorang pun yang dimaafkan.
Sebagian lain berpendapat bahwa ahlul fitrah tetap mendapatkan siksa di akhirat kelak, sebab mereka masih memiliki sisa peringatan yang dibawa oleh rasul-rasul yang telah diutus Allah sebelum Nabi Muhammad saw yang merupakan hujjah Allah bagi mereka.
Rasulullah saw bersabda, "Ada empat golongan yang akan berhujjah (mengajukan alasan) pada hari kiamat, yaitu orang tuli (tuna rungu) yang tidak mendegar apa-apa, orang bodoh, orang lanjut usia, dan orang yang meninggal pada masa fatrah. Orang tuli berkata, 'Ya Tuhan, Islam telah datang, tetapi aku tidak mendengar sesuatu'. Orang bodoh berkata, 'Ya Tuhan, Islam telah datang, tetapi anak-anak melempariku dengan kotoran hewan'. Orang tua berkata, 'Ya Tuhan, Islam telah datang, tetapi aku tidak mengetahui sesuatu'. Dan orang yang meninggal pada masa fatarah berkata (di antara dua rasul) berkata, 'Ya Tuhan, tidak ada rasul-Mu yang telah datang kepadaku. Kemudian mereka bersumpah untuk menaatinya, hingga diperintahkan kepada mereka supaya masuk ke dalam neraka. Demi Dia yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya mereka masuk ke dalamnya, niscaya mereka akan merasakan dingin dan damainya." (HR Ahmad, Ibnu Hibban, Bazzar, Abu Na'im).
Hadis tersebut di atas adalah hadis sahih dan sebagai dalil untuk masalah ini. Maka orang yang dapat melintasi jembatan neraka, ia akan masuk surga, dan ia adalah orang yang mempercayai para rasul ketika mereka datang kepadanya di dunia, sedang orang yang terhalang, ia akan masuk neraka, dan ia adalah orang yang mendustakan para rasul ketika mereka datang kepadanya di dunia; karena Allah Maha Mengetahui apa yang mereka lakukan ketika rasul-rasul-Nya diutus kepada mereka.
Imam asy-Syanqithi Rahimahullah mengatakan, "Dengan cara penggabungan inilah, dalil-dalil tersebut dapat berpadu dan selaras, sehingga ahlul fatrah dapat dimaafkan. Sebagian kelompok dari mereka akan menjadi penghuni neraka setelah melewati ujian, dan sebagian yang lain akan menjadi penghuni surga setelah ujian yang sama. Masing-masing kedua pendapat itu mengindikasikan bahwa sebagian mereka mengetahui bahwa Allah adalah tempat kembali mereka, dan Nabi-Nya, Rasulullah saw telah memberitahukan hal itu, sehingga gugurlah pertentangan itu." (Daf'u Iham al-Idhthirab 'an ayat Alquran, juz 10, h. 185).
Sumber: Al-Jahl bi Masail al-I'tiqad wa Hukmuhu, Abdurrzzaq bin Thahir bn Ahmad Ma'asy